Keberlanjutan Kampung Lama Berbasis Potensi Kearifan Lokal di Kota Semarang

Annisa Mu’awanah Sukmawati

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Teknologi Yogyakarta, DI Yogyakarta, Indonesia

annisa.sukmawati@staff.uty.ac.id
doi.org/10.29080/emara.2017.3.2.53-60


Abstract: The old kampung was an embryo for urban development which has historical and cultural values, as well as the identity. However, the old kampung was threatened physically and non-physically due to urban development. The article aimed to showed the strategies to achieve kampung sustainability through the potential of local wisdom. A qualitative research method conducted with qualitative descriptive analysis technique by taking Kampung Bustaman, Semarang as the study location. The analysis showed that Kampung Bustaman has local wisdom in the form of economic activities that has been manifested in the community daily lifes and potentially became the major capital to achieve kampung sustainability. The strategies involved the stakeholder roles, such as local communities, government and other parties through the kampung events. The tourism was able to encouraged communities participation and strengthen the economic as well as the social life of local communities. Local communities participation and local organizations commitment to preserving local wisdom also play an important role for achieving the kampung sustainability.

Keywords:  old kampung, local wisdom, kampung sustainability

Abstrak: Kampung lama merupakan embrio perkembangan kota yang sarat nilai kesejarahan, budaya, dan memiliki identitas. Namun, kampung lama terancam secara fisik dan non-fisik akibat perkembangan kota. Artikel bertujuan untuk menunjukkan strategi mencapai keberlanjutan kampung lama melalui potensi kearifan lokal yang dimiliki. Studi dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis deskriptif kualitatif dengan mengambil lokasi studi di Kampung Bustaman Kota Semarang. Analisis menunjukkan bahwa Kampung Bustaman memiliki kearifan lokal berwujud aktivitas ekonomi yang telah termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat serta mampu menjadi modal bagi keberlanjutan kampung lama. Strategi untuk mencapai keberlanjutan kampung lama adalah dengan melibatkan peran berbagai pihak, baik masyarakat lokal, pemerintah dan pihak lain melalui penyelenggaraan event kampung. Penyelenggaraan event terkait kepariwisataan mampu menggugah partisipasi masyarakat serta memperkuat sendi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat lokal dan adanya dukungan komitmen dari organisasi lokal untuk melestarikan kearifan lokal juga menjadi poin utama dalam rangka mencapai keberlanjutan kampung.

Kata Kunci: kampung lama, kearifan lokal, keberlanjutan kampung



1.  PENDAHULUAN

Perkembangan kota-kota di Indonesia dapat ditelusuri melalui keberadaan kampung-kampung lama. Kampung lama merupakan embrio perkembangan kota. Ini dikarenakan kampung lama merupakan bagian dari permukiman perkotaan yang dibentuk oleh konsep keruangan dalam kurun waktu yang sangat lama dan membentuk struktur ruang kota. Kampung lama sebagai fenomena perkotaan di Indonesia telah ada sejak zaman Belanda (Wijanarka, 2007). Kampung lama kota memiliki sejarah, ciri khas dan identitas masing-masing. Ciri khas aktivitas, etnis, agama, ras penghuni kampung pada masanya menjadi toponimi nama kampung (Suliyati, 2012).

Masyarakat memiliki kearifan dan pengetahuan lokal sebagai karakteristiknya. Kearifan lokal merupakan gagasan lokal, nilai, norma, pandangan hidup, serta pengetahuan lokal yang tumbuh dan berkembang secara dinamis dalam kehidupan masyarakat dan diteruskan secara turun temurun karena mengandung makna baik dan benar sehingga patut dilestarikan (Ridwan, 2007; Sartini, 2004). Kearifan lokal tercipta ketika ada internalisasi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat menjadi kepercayaan dan budaya lokal sebagai hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan dalam kurun waktu yang lama (Vitasurya, 2016). Kearifan lokal dapat terwujud dalam bentuk kebiasaan, nilai, sistem sosial, dan kehidupan sosial yang memiliki nilai budaya tinggi (Madiasworo, 2009). Namun, modernisasi sebagai akibat dari globalisasi menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi kearifan lokal (Dahliani, 2015; Sartini, 2004).

Kampung lama yang terletak di pusat kota rentan mengalami tekanan akibat urbanisasi dan perkembangan kota. Pertambahan populasi dan migrasi penduduk mempengaruhi perubahan budaya karena dinamika budaya akan terjadi sejalan dengan perkembangan aktivitas manusia. Lebih jauh, urbanisasi menyebabkan hilangnya identitas masyarakat (Nasongkhla & Sintusingha, 2012). Akulturasi penduduk memunculkan berbagai masalah dalam kehidupan kampung kota, salah satunya kemunduran aktivitas sosial budaya masyarakat (Juwono, 2005).

Kampung lama tidak hanya mengalami tekanan secara fisik namun juga non fisik. Keterbatasan prasarana, kepadatan bangunan, keterbatasan ruang terbuka, dan degradasi lingkungan adalah beberapa permasalahan terkait aspek fisik kampung. Sedangkan permasalahan terkait aspek nonfisik terkait dengan pergeseran nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi  (Azahro & Yuliastuti, 2013; Dewi & Syahbana, 2015; Ernawati, Santosa, & Setijanti, 2013; Putra, 2013; Setiawan, 2010). Dikaitkan dengan eksistensi kampung lama, kampung lama yang sarat nilai kesejarahan serta memiliki identitas, dapat terancam akibat urbanisasi dan modernisasi yang mengakibatkan terjadinya dinamika kehidupan masyarakat di dalam kampung. Hal ini perlu diantisipasi menggunakan kearifan lokal yang mengandung pengetahuan dan gagasan lokal masyarakat yang muncul sebagai bentuk adaptasi  terhadap perubahan yang terjadi serta adanya kebutuhan.

Permukiman mengandung makna perpaduan antara wadah fisik (container) dan isinya (content) yang terdiri dari tempat tinggal sebagai wadahnya beserta manusia dengan segala aktivitas dan kehidupannya sebagai isinya. Dalam rangka mencapai permukiman berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup manusia, diperlukan keseimbangan tatanan sosial-budaya, ekonomi, lingkungan, serta kelembagaan dalam upaya pemenuhan kebutuhan saat ini dengan tidak mengesampingkan kehidupan di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) (1987) bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Dimensi pembangunan berkelanjutan mencakup pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan.

Permukiman berkelanjutan adalah upaya untuk mencapai lingkungan yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi. Di dalamnya perlu ada langkah untuk mencapai keseimbangan antara usaha memenuhi kebutuhan sosial ekonomi dengan lingkungan melalui integrasi antara perilaku masyarakat dan lingkungan tempat tinggal (Mani, Varghese, & Ganesh, 2005). Di sisi lain, permukiman yang berkelanjutan memiliki unsur ekonomi yang kuat, lingkungan yang serasi, tingkat sosial yang relatif setara, peran serta
masyarakat yang tinggi, dan konservasi sumber daya yang terkendali dengan baik
(Chaidir & Murtini, 2014).

Lebih lanjut, Chaidir & Murtini (2014) mengungkapkan bahwa eksistensi bermukim belum tentu menentukan keberlanjutan permukiman. Di dalamnya, terdapat faktor dimensi ekonomi, sosial budaya, lingkungan, infrastruktur, dan kelembagaan yang menentukan keberlanjutan permukiman. Kearifan lokal juga turut mempengaruhi keberlanjutan permukiman.

Tekanan pembangunan berdampak pada kondisi sosial dan fisik permukiman. Perubahan kondisi sosial ekonomi yang terjadi dalam suatu permukiman mendorong perlunya inisiasi konservasi melalui proteksi, perbaikan, dan partisipasi publik dalam rangka menjaga keberlanjutan permukiman dan kota (Jones, 1997). Di sisi lain, Azahro & Yuliastuti (2013) mengemukakan bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat kampung adalah parameter untuk mengukur keberlanjutan permukiman. Ini dikarenakan dalam kehidupan keseharian terdapat perpaduan antara aspek kehidupan sosial dan ekonomi sebagai aspek yang paling potensial dalam mencapai permukiman berkelanjutan.

Di samping itu keberadaan organisasi lokal serta komitmen kuat dari masing-masing anggota masyarakat menjadi poin penting (Ernawati, Santosa, & Setijanti, 2014). Kehidupan sosial budaya dengan pengembangan prinsip keragaman dan toleransi kehidupan dalam rangka mencapai keamanan dan kenyamana hidup juga mendukung tercapainya permukiman berkelanjutan (Dyah & Yuliastuti, 2014).

Kearifan lokal menjadi kekuatan sosial budaya karena mengandung nilai-nilai kehidupan sehingga dapat menjadi salah satu modal kampung untuk bertahan di tengah tekanan modernitas dan pembangunan kota (Juwono, 2005; Putra, 2013). Kampung kota memiliki keunikan yang mencerminkan kekhasan sejarah, usaha, perjuangan, dan jiwa penghuni kampung (Setiawan, 2010). Kampung kota tumbuh karena adanya keunikan sosial budaya dan ekonomi dengan mempertahankan kebiasaan dan perilaku (Pawitro, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa setiap kampung memiliki ciri khas dan karakteristiknya masing-masing yang mampu menjadikan kampung untuk tetap eksis di tengah perkembangan kota. Vitasurya (2016) mengungkapkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi modal untuk mengembangkan aktivitas pariwisata. Ini dikarenakan partisipasi masyarakat yang mengandung unsur kerjasama mampu sebagai wujud kearifan lokal menjadi penggerak aktivitas pariwisata.

Kota Semarang adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangan kotanya. Saat ini, Kota Semarang juga dinominasikan sebagai salah satu kota pusaka (world heritage) dari 10 kota pusaka di Indonesia karena memiliki kekayaan budaya serta keunikan sejarah kota (Hendro, 2015). Keberadaan kampung lama memberi identitas bagi sejarah perkembangan Kota Semarang. Keberadaan kampung-kampung lama di Kota Semarang yang sarat nilai historis tradisional memberi identitas tersendiri bagi sosial budaya masyarakat kota (Hendro, 2015).

Namun demikian, ditemukan kasus bahwa beberapa kampung lama di Kota Semarang hilang karena diubah menjadi kawasan komersial. Faktor ekonomi berperan besar dalam hilangnya beberapa kampung lama di Kota Semarang (Subagyo, 2014). Kampung-kampung lama rentan tergusur akibat pembangunan dan perkembangan kota. Hal ini mendorong perlunya langkah kebijakan konservasi untuk beberapa kawasan lama di Kota Semarang, seperti Kawasan Kota Lama, Kampung Kauman, Kampung Pecinan, Kampung Pekojan, dan Kampung Sekayu yang notabene merupakan kawasan bersejarah di Kota Semarang yang sarat budaya kebendaan dan non kebendaan (Hendro, 2015).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Lokasi Kampung Bustaman di RW III Kelurahan Purwodinatan  

(sumber: citra google earth, 2015)

Secara administratif, Kampung Bustaman terletak di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Adapun lokasi Kampung Bustaman terlihat di gambar 1. Kampung Bustaman mencakup 2 RT, yaitu RT 04 dan 05 dengan luas wilayah 0,6 Ha. Pada tahun 2014, Kampung Bustaman dihuni oleh 366 jiwa (114 KK). Kampung Bustaman ditemukan oleh Kyai Kertoboso Bustam (1681-1769) sekitar tahun 1700-an. Warga kampung percaya bahwa cikal bakal kampung berawal dari sebuah sumur yang dibangun oleh Kyai Bustam sebagai sumber kehidupannya sehingga muncul nama Kampung Bustaman yang mengambil nama dari Kyai Bustam.

Kampung Bustaman termasuk dalam salah satu kampung lama di Kota Semarang yang masih mampu bertahan di tengah kota dengan kondisi fisik ruang kampung yang sedemikian rupa dan aktivitas yang terjadi di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan dan keunikan yang dimiliki Kampung Bustaman. Masyarakat Kampung Bustaman memiliki warisan kekayaan budaya masa lalu sebagai kearifan lokal. Namun demikian, Kampung Bustaman dihadapkan pada permasalahan mulai adanya pergeseran nilai-nilai kehidupan sosial budaya akibat dinamika perkembangan kota. Untuk itu, artikel ini bertujuan untuk menunjukkan strategi mencapai keberlanjutan kampung lama melalui potensi kearifan lokal yang dimiliki dengan mengambil kasus di Kampung Bustaman Semarang.

2.  METODE PENELITIAN

Studi dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal yang terdapat di Kampung Bustaman dan upaya apa yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah dan pihak lain untuk mencapai keberlanjutan kampung lama Bustaman. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan dengan teknik snowball sampling sehingga didapatkan 16 informan, meliputi pihak pemerintah Kota Semarang, lembaga lokal Kampung Bustaman (ketua RT 04 dan RT 05 Kampung Bustaman, ketua RW III, tokoh masyarakat dan sesepuh Kampung Bustaman), juragan kambing di Kampung Bustaman, ketua Ikatan Remaja Bustaman (IRB), dan beberapa warga Bustaman.

Teknik wawancara digunakan untuk menggali informasi mengenai bentuk kearifan lokal di Kampung Bustaman serta langkah-langkah yang telah, sedang, dan akan dilakukan untuk mendorong keberlanjutan kampung lama Bustaman melalui kearifan lokal yang dimiliki. Observasi lapangan dilakukan dengan mengamati secara langsung objek penelitian, seperti terkait aktivitas keseharian masyarakat Bustaman dan  kondisi fisik dan pemanfaatan ruang kampung. Sementara itu, metode pengumpulan data sekunder dilakukan dengan telaah dokumen serta berbagai artikel dari media massa dan internet mengenai Kampung Bustaman.

3.  HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kearifan Lokal di Kampung Bustaman

Kampung Bustaman memiliki kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun berwujud aktivitas ekonomi masyarakat sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan. Kampung Bustaman memiliki keunikan dan dikenal dengan sebutan kampung kambing. Sebutan ini digambarkan oleh aktivitas ekonomi bersumber dari perkambingan. Selain identitasnya sebagai kampung kambing, Kampung Bustaman juga memiliki ciri khas ekonomi berupa penjaja kuliner di dalam kampung. Peta lokasi persebaran lokasi aktivitas ekonomi di dalam Kampung Bustaman terlihat pada gambar 2.

Identitas Kampung Bustaman sebagai kampung kambing dikenal sejak zaman Belanda. Usaha perkambingan berlangsung secara turun-temurun dari geneasi ke generasi dan saat ini telah memasuki generasi ketiga. Keberadaan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di dalam kampung yang pada kala itu digunakan untuk memudahkan para pengusaha kambing Bustaman untuk memotong kambing memperkuat identitas Kampung Bustaman sebagai kampung kambing. Selain itu, aktivitas terkait perkambingan masih berlangsung setiap harinya di dalam Kampung Bustaman. Aktivitas pemotongan kambing berlangsung mulai pukul 03.00 dini hari hingga sekitar pukul 06.30 dimana daging kambing siap didistribusikan keluar.

Selain aktivitas pemotongan kambing, terdapat pula diversifikasi aktivitas warga terkait perkambingan, seperti juragan kambing, tukang jagal / potong kambing, tukang kerok, pembersih kepala kambing, pembuat bumbu dan penjual gulai, sate dan tengkleng yang berbahan dasar daging dan jeroan kambing.

Selain identitasnya sebagai kampung kambing, Kampung Bustaman juga memiliki ciri khas kehidupan ekonomi berupa beragam penjaja kuliner di dalam kampung yang berasal dari warga Bustaman sendiri. Keunikan dari kuliner di Kampung Bustaman adalah bahwa para penjual dan pembeli kebanyakan berasal dari masyarakat lokal Bustaman sendiri. Keberadaan kuliner lokal Bustaman juga selalui laris. Ini dikarenakan adanya siklus jual beli antar tetangga sebagai wujud simbiosis serta upaya untuk menghidupkan kampung agar selalu aktif berkegiatan. Aktivitas ekonomi yang demikian semakin meningkatkan kondisi sosial warga serta sebagai cerminan kehidupan masyarakat kampung yang guyub.

Kearifan lokal yang telah termanifestasi dalam kehidupan sehar-hari masyarakat mampu menjadi modal keberlanjutan kampung. Sebagaimana diungkapkan oleh Chaidir & Murtini (2014); Juwono (2005) dan Putra (2013) bahwa kearifan lokal dapat menjadi potensi  keberlanjutan permukiman karena mengandung nilai-nilai kehidupan dan mencerminkan kekuatan permukiman terkait kemampuan masyarakat beradaptasi terhadap lingkungannya.

Lebih lanjut, Azahro & Yuliastuti (2013) bahwa kehidupan sehari-hari, dari aspek sosial dan ekonomi, menjadi parameter utama untuk mengukur keberlanjutan permukiman karena menentukan geliat kehidupan kampung lama. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Bustaman telah melebur dan terimplementasi dalam keseharian masyarakat Bustaman sebagai wujud strategi kebertahanan hidup masyarakat Bustaman dan menunjukkan eksistensi permukiman kampung guna mencapai keberlanjutan permukiman.

Budaya bermukim masyarakat Kampung Bustaman terbentuk dalam jangka waktu yang lama telah membentuk kondisi ruang kampung dan aktivitas masyarakat. Identitas Kampung Bustaman sebagai kampung kambing yang dikenal sejak zaman Belanda dan kegiatan terkait perkambingan yang telah berlangsung dari generasi ke generasi hingga saat ini menunjukkan bahwa Kampung Bustaman memiliki sejarah kampung yang panjang terkait aktivitas perkambingan.

Di sisi lain adanya kebutuhan warga setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mendorong perlunya melestarikan  kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi kekuatan sosial budaya karena mengandung nilai-nilai kehidupan sehingga dapat menjadi salah satu modal kampung untuk bertahan di tengah tekanan modernitas dan pembangunan kota (Juwono, 2005; Putra, 2013).

Kearifan lokal merupakan salah satu modal untuk kampung dapat bertahan dan mencapai keberlanjutan. Kearifan lokal memiliki peran dalam menghidupkan ruang-ruang kampung, disamping mampu memberi identas kampung. Masyarakat Kampung Bustaman memiliki kearifan lokal yang sarat nilai pengetahuan dan keterampilan lokal. Warisan budaya berdagang kambing memiliki nilai pengetahuan dan keterampilan dimana untuk menjadi juragan kambing perlu keterampilan khusus yang patut dipelajari oleh generasi penerus untuk mewarisi keahlian pemotongan kambing.

Di sisi lain, masyarakat Bustaman juga memiliki keterampilan khusus dalam mengolah masakan berbahan dasar kambing menjadi gulai namun memiliki cita rasa yang berbeda dengan gulai lain pada umumnya sehingga gulai kambing bustaman juga memberi identitas ciri khas kuliner Bustaman.

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Sebaran Lokasi Aktivitas Ekonomi di Kampung Bustaman

(sumber: analisis, 2015)

 


3.2. Strategi Mencapai Keberlanjutan Kampung Bustaman

Permukiman yang berkelanjutan memiliki unsur ekonomi yang kuat, lingkungan yang serasi, tingkat sosial yang relatif setara, peran serta
masyarakat yang tinggi, dan konservasi sumber daya yang terkendali dengan baik
(Chaidir & Murtini, 2014). Upaya mencapai keberlanjutan kampung lama dapat dilakukan dengan menggunakan potensi kearifan lokal yang dimiliki. Kearifan lokal yang sarat nilai historis dan budaya mampu memberi manfaat tersendiri bagi kehidupan masyarakat lokal kampung baik pada aspek kehidupan ekonomi dan sosial.

Sebagaimana diungkapkan oleh Puspitasari, Djunaedi, Sudaryono, & Putra (2012) bahwa unsur historis menjadi salah satu faktor bagi eksistensi kampung lama karena berkorelasi dengan keuntungan ekonomi yang didapatkan. Unsur historis kampung lama memiliki potensi dalam menciptakan segala aspek kehidupan yang lebih baik. Adanya upaya untuk melestarikan budaya serta menciptakan kehidupan sosial yang harmonis menjadikan kampung lama dapat tetap eksis dan memiliki potensi untuk mencapai keberlanjutan kampung.

Kearifan lokal dapat terus eksis apabila ada partisipasi masyarakat untuk terus menghidupkan dan memperkuatnya (Palapin, 2014). Di Kampung Bustaman, kearifan lokal berwujud aktivitas ekonomi juga diupayakan untuk diperkuat kondisinya. Adanya keinginan warga dan sesepuh kampung untuk memperkuat kondisinya melalui mengolah kuliner bahan dasar kambing dalam bentuk masakan lain dan tetap menekuni usaha kuliner berbahan dasar kambing, seperti gulai kambing yang telah memberi ciri khas tersendiri untuk kuliner khas Bustaman.

Penguatan aktivitas ekonomi di Kampung Bustaman yang berbasis pada potensi lokal kampung, yaitu kambing dan peningkatan keterampilan mengolah kuliner perlu dilakukan mengingat keterampilan lokal dalam pengolahan kuliner berbahan dasar kambing di Kampung Bustaman adalah salah satu bentuk kearifan lokal Kampung Bustaman.

“Dan kami juga sekarang masih berwacana membuka peluang yang belum ada di
Semarang, yaitu ee...abon kambing. Misal, abon kambing rasa gule, itu kan belum
ada.”
(AZR, W11, 31-05-2015, 301-304).

“Ya masih lah. Wong orang sini juga jual juga. Ibu itu masih. Kalau bisa itu lho
malah minta dodol terus.”
(YLU, W1, 12-05-2015, 93-94)

Selain dari pemerintah Kota Semarang, Kampung Bustaman juga mendapat dukungan dari pihak lain, yaitu komunitas Hysteria. Komunitas Hysteria pernah menyelenggarakan event Tengok Bustaman 1, 2, dan 3 pada tahun 2013, 2015 dan 2016 sebagai sarana untuk menghidupkan kampung dan memperkenalkan Kampung Bustaman serta budayanya ke dunia luar melalui seni dan kreatifitas. Penyelenggaraan event Tengok Bustaman memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat serta meningkatkan kondisi lingkungan fisik kampung.

Penyelenggaraan event mampu menghidupkan kembali, memperkokoh, serta memperkenalkan tradisi lokal Bustaman ke masyarakat luas; menggugah partisipasi warga untuk lebih peduli kampung; menggugah kreativitas warga; dan meningkatkan perekonomian lokal masyarakat Bustaman. Pengadaan event adalah salah satu upaya strategis dalam promosi pariwisata selain berpromosi melalui iklan. Melalui event juga akan terdapat komunikasi langsung antara wisatawan dengan penyelenggara wisata untuk memasarkan produk pariwisata (Manafe, Setyorini, & Alang, 2016).

Dalam kasus di Kampung Bustaman, langkah mengadakan event akan meningkatkan cara berkomunikasi masyarakat lokal Bustaman dengan pihak lain selain sebagai sarana promosi potensi kearifan lokal yang dimiliki.

“Tengok Bustaman itu juga berpengaruh dari sisi ke dalamnya semenjak ada forum
paguyuban bustaman itu memberi kesadaran untuk warganya, ada perubahan untuk
lingkungan sini dengan kegiatan-kegiatan yang masih dipertahankan kaitannya
dengan penataan kendaraan, ada kesadaran dari warga untuk parkir di pusatkan di
Petudungan kecuali tamu .......... Ya sebetulnya agar generasi mudanya terpacu,
bisa mengingat, enggak setelah selesai ya selesai jadi agar secara kontinyu entah
setahun sekali atau 2 tahun sekali.”
(ABZ, W13, 31-05-2015, 156-162; 213-215).

“Itu kan menggugah kreativitas warga supaya ditampilkan di depan publik. Itu kan atas dorongan komunitas luar. Kalau tanpa itu mungkin ya sempat mandeg……… Yaa gerakan ada. Terutama itu mereka diuntungkan dengan kulinernya. Begitu ada Tengok
Bustaman itu mereka laris semua.”
(HBS, W17, 12-06-2015, 63-66; 300-303)

“Kalau saya pikir ekonomi meningkat ya walau enggak drastis karena mereka
kemarin banyak didatangi wisatawan meskipun kelasnya masih domestik.”
(HYS,
W8, 25-05-2015, 467-469)

Kampung Bustaman memiliki potensi kearifan lokal berupa aktivitas ekonomi yang mampu menjadi potensi mencapai keberlanjutan kampung. Langkah untuk mengkonservasi Kampung Bustaman melalui pariwisata dapat dipertimbangkan. Aktifitas pariwisata merupakan manifestasi dari pengembangan kawasan konservasi yang bertujuan untuk menghidupkan kampung, melestarikan dan mengembangkan budaya lokal (Hendro, 2015). Aktivitas pariwisata juga mampu memperkuat aspek kehidupan sosial dan ekonomi komunitas lokal serta meningkatkan vitalitas kawasan.

Langkah untuk mendorong keberlanjutan  Kampung Bustaman melalui pariwisata terlihat oleh adanya dukungan pemerintah Kota Semarang. Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, pemerintah memberikan dukungan melalui regulasi Peraturan Daerah Rencana Induk Pengembangan Pariwisata yang di dalamnya terdapat upaya bagaimana mengembangkan dan melestarikan kawasan kota lama yang memiliki daya tarik wisata yang salah satunya adalah Kampung Bustaman.

 “......... Yang terkait dengan regulasi nanti ada perda tentang rencana induk
pengembangan pariwisata. Di dalamnya adalah bagaimana mengembangkan,
melestarikan kawasan-kawasan kota lama .......... Bustaman menjadi satu bagian
dengan kawasan seperti Pecinan yang nanti pengembangan menjadi satu kawasan.
Rancangan perdanya belum jadi, jadi belum bisa saya tunjukkan. Tabel-tabelnya
ada Bustaman. Saya kemarin bahas. Tapi intinya bahwa di Rancangan Perda
tentang Rencana Induk Pembangunan Tempat Wisata Kota Semarang, Kampung
Bustaman masuk ......... Masuknya di sektor wisata budaya kawasan strategis
pengembangan pariwisata Semarang Tengah .............. kita masukan di dalam
pengembangan pariwisata tapi pariwisata khusus. Pariwisata khusus seperti
penelitian, orang-orang yang peduli pada budaya.”
(DPK, W9, 28-05-2015, 5-11,
32-39, 173-175, 190-192).

Selain memiliki potensi berupa kearifan lokal, keberlanjutan kampung dapat dicapai ketika ada kolaborasi peran antara masyarakat, pemerintah dan pihak lain. Upaya untuk menghidupkan kampung melalui penyelenggaraan event dengan melibatkan masyarakat lokal kampung penting dilakukan. Ini dikarenakan keberadaan organisasi lokal serta komitmen kuat dari masing-masing anggota masyarakat menjadi poin utama sejalan dengan kedudukannya sebagai objek pembangunan dalam rangka mencapai keberlanjutan kampung (Ernawati, Santosa, & Setijanti, 2014). Perlu dilakukan penguatan kapasitas masyarakat lokal melalui pelatihan, pembelajaran dan pemberian motivasi guna menggugah kesadaran warga. Ini dikarenakan peran masyarakat lokal mencerminkan kekuatan swadaya lokal yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebersamaan dalam upaya menghidupkan kampung. Sementara itu, pihak lain di luar masyarakat lokal, seperti pemerintah atau lembaga lain dapat dikatakan sebagai kekuatan eksternal untuk mendorong keberlanjutan kampung, seperti pemerintah yang berperan melalui kebijakan dan peraturan.

4.   KESIMPULAN

Kearifan lokal merupakan pengetahuan dan nilai-nilai lokal di masyarakat yang berkembang dalam kurun waktu yang sangat lama sebagai hasil interaksi antara manusia dengan ruang kampung. Kearifan lokal berperan memberi identitas kampung. Kearifan lokal yang telah termanifestasi dalam kehidupan sehar-hari masyarakat mampu menjadi modal keberlanjutan kampung sejalan dengan fungsinya sebagai suatu sumber daya untuk menyelenggarakan kehidupan. Strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai keberlanjutan kampung lama adalah dengan melibatkan peran berbagai pihak, baik masyarakat lokal, pemerintah dan pihak lain melalui penyelenggaraan event kampung dalam rangka memperkenalkan keberadaan kampung lama ke dunia luar. Penyelenggaraan event terkait kepariwisataan mampu menggugah partisipasi warga serta memperkuat sendi kehidupan ekonomi dan sosial. Di sisi lain, adanya keinginan masyarakat lokal untuk melestarikan kearifan lokal melalui berbagai aktivitas atau penciptaan produk kreatif juga berperan penting sejalan dengan kedudukan masyarakat lokal sebagai penghuni kampung yang menentukan keberlanjutan kampung lama.

5.   DAFTAR PUSTAKA

Azahro, M., & Yuliastuti, N. (2013). Kajian kehidupan masyarakat kampung lama sebagai potensi keberlanjutan lingkungan permukiman Kelurahan Gabahan Semarang. Teknik PWK, 2(3), 481–490.

Chaidir, A., & Murtini, T. W. (2014). Keberlanjutan Permukiman Rawa Desa Baru di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota, 10(1), 59–69.

Dahliani, D. (2015). Local wisdom in built environment in globalization era. International Journal of Education and Research, 3(6), 157–166.

Dewi, D. P., & Syahbana, J. A. (2015). Kebertahanan Kawasan Perkampungan Pedamaran Semarang. Jurnal Teknik PWK, 4(1), 93–106.

Dyah, V., & Yuliastuti, N. (2014). Penilaian Keberlanjutan Permukiman Kampung Lama di Kelurahan Lempongsari. Jurnal Teknik PWK, 3(4), 766–775.

Ernawati, R., Santosa, H. R., & Setijanti, P. (2013). Facing urban vulnerability through kampung development, case study of kampungs in Surabaya, Indonesia. Humanities and Social Sciences, 1(1), 1–6. http://doi.org/10.11648/j.hss.20130101.11.

Ernawati, R., Santosa, H. R., & Setijanti, P. (2014). Community Initiatives in Developing Sustainable Settlements, Case Study Kampung in Surabaya Indonesia. International Journal of Engineering Research & Technology, 3(6), 2242–2245.

Hendro, E. P. (2015). Pelestarian Kawasan Konservasi di Kota Semarang. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, 9(1), 17–28.

Jones, A. (1997). Urban conservation issues in Brunei Darussalam: the case of Brunei’s water villages. Planning Perspectives, 12(4), 457–475. http://doi.org/10.1080/026654397364627.

Juwono, S. (2005). Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Kontribusi pada Rancang Kota. In Seminar Nasional PESAT 2005. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Madiasworo, T. (2009). Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kampung Melayu Semarang. Local Wisdom, I(1), 10–18.

Manafe, J. D., Setyorini, T., & Alang, Y. A. (2016). Pemasaran Pariwisata Melalui Strategi Promosi Objek Wisata Alam, Seni dan Budaya (Studi Kasus di Pulau Rote NTT). Jurnal Bisnis Dan Manajemen Islam, 4(1), 101–123.

Mani, M., Varghese, K., & Ganesh, L. S. (2005). Integrated Model Framework to Simulate Sustainability of Human Settlements. Journal of Urban Planning and Development, 131(3), 147–158. http://doi.org/10.1061/(ASCE)0733-9488(2005)131:3(147).

Nasongkhla, S., & Sintusingha, S. (2012). Social Production of Space in Johor Bahru. Urban Studies, 50(9), 1836–1853. http://doi.org/10.1177/0042098012465907.

Palapin, P. (2014). Forms of Promotion and Dissemination of Traditional Local Wisdom: Creating Occupations among the Elderly in Noanmueng Community , Muang Sub-District , Baan. International Journal of Social, Behavioral, Educational, Economic, Business and Industrial Engineering, 8(8), 2715–2718.

Pawitro, U. (2012). Masyarakat Kampung Kota-Kondisi Permukimannya dan Upaya Perbaikan Lingkungan Kampung Kota (Studi Kasus RW-12 Kel. Babakan Surabaya Kec.Kiaracondong Kota Bandung). In Seminar Regional Pembangunan Jawa Barat 2012. Jatinangor, Bandung: LPPM Universitas Padjajaran.

Puspitasari, P., Djunaedi, A., Sudaryono, & Putra, H. S. A. (2012). Cyclical Changes of Space: The phenomena of Space Changes in Historic-Religious Kampung Luar Batang, Jakarta, Indonesia. Asian Journal of Environment-Behaviour Studies, 3(9), 33–46.

Putra, B. A. (2013). The Survival Phenomenon of Kampong Kuningan Amidst the Development of Mega Kuningan Business-area in Jakarta Indonesia. International Journal of Scientific & Engineering Research, 4(1), 1–6.

Ridwan, N. A. (2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda`, 5(1), 1–8.

Sartini, S. (2004). Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafati. Jurnal Filsafat, 37(2), 111–120.

Setiawan, B. (2010). Kampung Kota dan Kota Kampung: Tantangan Perencanaan Kota di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, Indonesia.

Subagyo. (2014). Tiga Kampung Kini Tinggal Kenangan. Retrieved March 17, 2015, from http://www.koranwawasan.com/02/05/2014/tiga-kampung-kini-tinggal-kenangan/.

 

Suliyati, T. (2012). Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang, 1–16. Retrieved from http://eprints.undip.ac.id/34046/.

Vitasurya, V. R. (2016). Local Wisdom for Sustainable Development of Rural Tourism, Case on Kalibiru and Lopati Village, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 216(October 2015), 97–108. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.12.014.

Wijanarka. 2007. Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

World Commission on Environment and Development (WCED). (1987). Our Common Future. New Delhi: Oxford University Press.